Ads Top

BAB IV. KONDISI RUHANI DAN KAROMAH (Al-Qusyairiyyah)

TERJEMAH KITAB 
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
As-Syeikh Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi


BAB IV.
KONDISI  RUHANI DAN KAROMAH

DATAR  ISI
3.     MIMPI

1.      KARoMAH  PARA  WALI (A)

Munculnya karamah bagi para Wali adalah sesuatu yang berkenan. Dalil atas perkenannya : “Bahwa munculnya karamah tersebut merupakan perkara yang kejadiannya irrasional. Munculnya tidak menghilangkan dasar-dasar prinsipal agama. Maka salah satu Sifat Wajib Allah swt. adalah Al-Qudrat (Kuasa) dalam mewujudkan karamah. Apabila Allah Maha Kuasa mewujudkannya, maka tak satu pun bisa menghalangi kewenangan munculnya karamah tersebut.”
Munculnya karamah merupakan tanda dari kebenaran orang yang muncul dalam kondisi ruhaninya. Siapa yang tidak benar, maka kemunculan seperti karamah tersebut tidak diperkenankan. Hal yang menunjukkannya, bahwa definisi sifat Al-Qadim bagi Allah swt. sudah jelas. Sehingga kita bisa membedakan antara orang yang benar dalam kondisi ruhaninya dan orang yang batil dalam menempuh bukti, dalam masalah yang spekluatif. Pembedaan itu tidak bisa dilakukan kecuali melalui keistimewaan Wali. Sesuatu yang tidak bisa dilakukan oleh mereka yang mendakwakan diri secara gegabah. Perkara tersebut tidak lain adalah karamah itu sendiri, sebgaimana kami isyaratkan.
Karamah tersebut mengharuskan adanya perbuatan yang kontra adat kebiasaan, pada masa-masa taklif, yang muncul dengan sifat-sifat kewalian dalam pengertian sebenarnya pada kondisi ruhaninya.
Berbagai kalangan ahli hakikat membincangkan aanya perbedaan antara karamah dengan mu’jizat. Imam Abu Ishaq al-Isfirayainu --- rahimahullah ta’ala – berkata : “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran para Nabi. Dan bukti kenabian tidak bisa ditemukan pada selain Nabi. Sebagaimana aksioma akal merupakan bukti bagi ilmuwan yag menunjukkan jatinya sebagai ilmuwan, tidak bisa ditemukan kecuali pada orang yang memliki ilmu pengetahuan.” Dia juga menegaskan : “Para Wali memiliki karamah, yang serupa dengan terijabahnya doa. Bahwa karamah itu dikategorikan jenis mu’jizat bagi para Nabi, itu tidak benar.”
Imam Abu Bakr bin Furak – rahimahullah – berkata : “Mu’jizat merupakan bukti-bukti kebenaran (para Nabi). Dan yang mendapatkan mu’jizat mengumandangkan nubuwwatnya. Mu’jizat menunjukkan kebenaran dalam ucapannya. Apabila pemiliknya menunjukkan pada kewalian, mu’jizat tersebut menunjukkan kebenarannya dalam kondisi ruhani si pemilik. Maka yang terakhir isi disebut karamah. Tidak disebut mukjizat, walau pun karamah tersebut sejenis dengan mu’jizat. Namun ada perbedaan.
Di antara perbedaan-perbedan mu’jizat dan karamah, bahwa mu’jizat itu diperintahkan untuk disebarluaskan. Sementara pada Wali, harus menyembunyikan dan menutupi karamah. Nabi --- shalat dan salam Allah semoga melimpah padanya – mendakwahkannya dengan memastikan kebenaran uacapannya. Sedangkan Wali tidak mendakwahkannya,  juga tidak memastikan melalui karamahnya. Sebab bisa jadi hal itu merupakan cobaan.
Salah seorang tokoh di zamannya, Qadhi Abu Bakr al-Asy’ary, berkata : “Mu’jizat itutentu bagi para Nabi, dan karamah khusus bagi para Wali, sebagaimana mu’jizat khusus bagi para Nabi. Bagi para wali tidak ada mu’jizat. Sebab salah satu syarat dari mu’jizat adalah disertai dengan dakwah kenabian yang didasarkan mu’jizat tersebut. Mu’jizat sendiri tidak dikatakan sebagai mu’jizat dilihat dari kenyataannya. Tetapi, menjadi mu’jizat karena adanya sifat-sifat yang mendukungnya.
Apabila salah satu syarat saja cacat, tidak dikategorikan mu’jizat. Salah satu syarat mu’jizat adalah dakwah kenabian. Sedangkan Wali tidak mendakwahkan kenabian. Dan yang muncul dari Wali tidak disebut sebagai mu’jizat. Ungkapan inilah yang kami pegang, kami yakini dan kami patuhi. Syarat-syarat mu’jizat secara keseluruhan atau lebih, ada dalam sayarat-syarat karamah, kecuali satu syarat di atas. Sedangkan karamah adalah suatu kejadian, yang tidak mustahil adalah baru.
Sebab sesuatu yang bersifat qadim, tidak dikhususkan pada seseorang. Sifat karamah adalah kontra terhadap adat kebiasaan. Muncul pada masa taklif, dan pada seorang hamba sebagai keistimewaan dan keuatamaan. Kadang-kadang gkaramah diperoleh melalui ikhtiar dan doanya, kadang-kadang usaha dan doa tersebut tidak bisa mendapatkan karamah. Kadang pula muncul di luat ikhtiarnya pada waktu-waktu tertentu. Seorang Wali tidak diperintahkan meminta doa orang lain bagi dirinya. Kalau toh pun muncul semacam itu, dan memang memiliki kapasitas yang sesuai, maka doa itu diperbolehkan.”
Ahli hakikat berbeda padang mengenai Wali : apakah dia boleh mengetahui atau tidak, bahwa dirinya itu seorang wali?
Imam Abu Bakr bin Furak r.a. berkata : “Tidak boleh seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, sebab dengan begitu, ia harus menghilangkan rasa takut dan harus pula merasa aman.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berpendapat atas kebolehannya. Pandanganninilah yang kami pilih dan kami prioritaskan. Tetapi hal itu tidak menjadi keharusan bagi semua Wali, sehingga setiap wali harus mengetahui bahwa dirinya itu Wali.
Namun masing-masing di antara mereka boleh mengenalnya sebagai wali, sebagaimana masing-masing diperbolehkan untuk tidak mengenal mereka. Apabila sebagaian di antara mereka ada yang mengetahui bahwa salah seorang di antara ada yang Wali, maka pengetahuannya itu tergolong sebagai karamah yang dimiliinya. Namun tidak semua karamah bagi wali itu dengan kenyataannya harus merata bagi semua Wali.
Bahkan kalau toh seorang Wali tidak mempunyai karamah yang muncul di dunia, ia tidak tercela sebagai Wali. Berbeda dengan para Nabi, mereka wajib mempunyai mu’jizat. Sebab Nabi diutus untuk dakwah kepada makhluk. Manusia membutuhkan atas kebenarannya, dan tentu tidak bisa diketahui kecuali melalui mu’jizat. Sementara Wali tidak diwajibkan berdakwah melalui karamahnya kepada makhluk.
Begitu pula tidak harus setiap Wali itu mengetahui bahwa dirinya adalah Wali. Sepuluh orang sahabat, membenarkan sabda Rasulullah saw. sebagaimana disebutkan dalam hadits, sebagai ahli surga.
Sedangkan pendapat mereka yang tidak memperkenankan seseorang mengetahui bahwa dirinya Wali, dikhawatirkan ia harus keluar dari rasa takut. Sebenarnya tidak berbahaya bila mereka takut adanya perubahan akibat-akibat. Dan apa yang mereka temui dalam hati mereka, dari rasa takut dengan penuh hormat, ta’dzim dan pengagungan kepada Allah swt. justru menambah dan meningkatkan banyak rasa takutnya.
Ketahuilah, seorang Wali tidak ada yang bertumpu pada karamah yang muncul pada dirinya. Bagi mereka juga tidak harus berupaya mendapatkan karamah. Kadang-kadang yang muncul adalah nuansa sejenis karamah, seperti : Keyakinan yang kuat dan mata hati yang bertambah, semata karena pembenaran mereka bahwa semua itu adalah kreasi Allah swt. Sehingga mereka lebih bertumpu pada keshahihan akidah mereka.
Secara keseluruhan, bahwa kewenangan munculnya karamah bagi para Wali merupakan hal yang tidak bisa diragukan. Para jumhur ahli ma’rifat juga berpandangan demikian, disamping banyaknya hadits dan hikayat yang menjelaskannya, sehingga pengetahuan atas kebolehan munculnya karamah tersebut sebagai pengetahuan yang kuat yang tidak bisa diragukan. Hal-hal yang muncul dari kaum Sufi dan hikayat dikenal banyak orang, apalagi kisah-kisah mereka, sama sekali tidak meninggalkan keraguan secara global.
Dalil-dalil atas semua itu ditegaskan oleh Al-Qur’an, dalam suatu kisah sahabat Nabi Sulaiman as. (Ashif) ketika mengatakan : “Aku akan membawa singgasana itu kepadamu sebelum matamu berkedip.” (Qs. An-naml :40). Padahal sahabat Sulaiman as. Ini bukan termasuk seorang Nabi,
Sedang  sebuah atsar datang dari Amirul Mukminin, Umar bin Khaththab r.a. ketika sedang berkhutbah Jum’at, tiba-tiba berkata “ Wahai Sariyah! Tetap saja engkau di bukit itu!.” Umar meneriakan suaranya itu dan didengar pula oleh Sariyah pada saat itu. Sehingga tentara Islam menjaga diri dari tipudaya musuh dari arah bukit pada saat itu pula.
Bila ditanyakan : “Bagaimana diperbolehkan menampakkan karamah-karamah tambahan ini dari segi makna-maknanya, di atas mu’jizat-mu’jizat para Rasul? Bolehkah mengutamakan para Wali ketimbang para Nabi – semoga Allah swt. melimpahkan salam-Nya?”
Jawabnya : “Karamah-karamah tersebut bertemu dengan mu’jizat Nabi Kita Muhammad saw. Sebab setiap orang yang tidak benar Islamnya, karamahnya tidak akan muncul. Setiap Nabi yang salah satu di antara ummatnya muncul karamahnya, maka karamah itu tergolong mu’jizat Nabi tersebut. Sebab kalau tidak karena kebenaran Rasul tersebut, karamah tidak akan muncul dari pengikutnya. Sedangkan derajat para Wali tidak mencapai derajat para Nabi – Alaihis salam – karena adanya ijma’ atas perkara tersebut.
Abu Yazid al-Bisthamy ditanya mengenai masalah ini, jawabnya : “Perumpamaan yang diperoleh para Nabi – semoga Allah swt. melimpahkan salam keapda mereka – ibarat tempat air (geriba) yang di dalamnya ada madunya. Madu tersebut menetes satu tetesan. Satu tetes itu, sepadan dengan apa yang ada pada seluruh para Wali. Sedangkan geribanya adalah ibarat Nabi Kita Muhammad saw.
Kembali ke Daftar awal+

Tidak ada komentar:

Diberdayakan oleh Blogger.